PENGGALIAN BATU PINAWETENGAN TAHUN 1888
Setelah membanding-bandingkan semua ceritera yang dikumpulkan maka J. Alb. T. schwarz dan J.G.F. Riedel tahun 1861mengambil kesimpulan bahwa ada batu suci orang Minahasa yang berada di bawah tanah di bukit Tonderukan. Lokasi itu telah diketahui namanya oleh J.G.F. Riedel berdasarkan ceritera rakyat yang disebut “Watu Rerumeran ne Empung” atau batu-batu tempat para leluhur duduk berunding. Ini dikarenakan di lokasi bukit Tonderukan terdapat beberapa batu di permukaan tanah yang kemungkinan besar batu-batu itu diletakkan setelah “Batu Pinawetengan” tenggelam ke dalam tanah.
Tanggal 9 Juni 1888 (H.M. Taulu Watupinawetengan 1983:16) atas prakarsa J.Alb.T.Schwarz para, penggali menemukan Batu Pinawetengan setelah menggali sekitar 3 (tiga) meter kedalam tanah. J.G.F. Riedel menepuk bahu J. Alb. T. Schwarz memberi salam dan mengatakan bahwa garis dan gambar pada batu itu adalah “inscripties” (catatan gambar) masa lalu Minahasa. Para pejabat Belanda M. De Kat membuat foto secara ditail dari gambar-gambar pada batu pinawetengan Mr. Hekmijer bekas presiden landraat (pengadilan) Manado membuat foto dari berbagai sisi batu terseBut, dan Morrees bekas kontrolir Tondano membuat foto ketika penggalian sampai ke dasar batu Pinawetengan. Banyak para tetua setempat dari Kanonang. Tompaso, Kawangkoan dan Sonder yang diminta oleh J. Alb. T. Schwarz untuk menjelaskan arti gambar-gambar tersebut, tapi tidak ada yang dapat menjelaskan arti gambar-gambar Manusia pada batu tersebut.
Arti gambar-gambar di Batu Pinawetengan menurut buku “Ethnographica uit de Minahasa” J. Alb. T. Schwarz 1905. halaman 5-7 adalah sebagai berikut :
Gambar batu dilihat dari atas memanjang dari utara timur kebarat ditengah agak ramping mungkin sebagai bahu. Di sebelah timur kepala, dan sebelah barat bahagian dada, mungkin setengah badan, karena Menurut legenda, pada mulanya manusia diciptakan hanya setengah, nanti Setelah Dewa LEMPOUW PALIT mengasihani manusia lalu menjadi lengkap seutuhnya.
Gambar-gambar manusia di bahagian atas, juga setengah badan walau dilengkapi mata, mulut, hidung dan telinga. Gambar manusia di batu bahagian barat, menghadap keselatan lengkap dengan tangan kaki dan kelamin wanita yang jelas.
Pada bahagian bahu bawah ada gambar simpul tali penangkap burung, juga garis-garis menghitung berjumlah tiga, lima, tujuh dan sembilan, mungkin menghitung jumlah bunyi burung Manguni. Garis di tengah mengarah ke utara ada denah gambar tempat pemukiman dan pintu negeri. Di sebelahnya lagi, ada gambar tangkai penumbuk padi (alu) dan alat penumbuk padi (lisung). Di sisi antara barat dan Selatan ada gambar jaring penangkap ikan, gambar ikan pari (nyoa) dan di utaranya ada gambar buaya, dan di sebelahnya ada gambar sarang buaya. Di sebelah Selatan ada gambar segi tiga dan gambar serangga berkaki.
Disebelah utara ada banyak gambar, tapi kurang jelas. Arah ke timur ada gambar ikan. Sebelah baratnya ada gambar ikan besar, kelelawar, hewan air bersirip punggung dengan ekor yang panjang kurang jelas ikan apa.
Orang tua-tua setempat tentu dapat menceritakan arti garis dan gambar secara pralogis spuranatural yang mereka ketahui secara turun-temurun, tapi karena ditahun 1888 itu pihak zending (Nederland-she-Genootschap) sedang mencapai puncaknya mengkristenkan seluruh Minahasa, maka hanya Tonaas JOEL LUMENTA dari Kanonang yang berani berceritera sedikit mengenai arti segi tiga (atas rumah) dan arti tiga garis simbol pintu masuk negeri.
Pengetahuan ethnografi tahun 1888 masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan jaman sekarang, dimana para ilmuwan anthropolog telah berhasil membaca arti gambar-gambar pada dinding batu dan gua-gua alam di seluruh Indonesia seperti di Sulawesi Selatan dan Tenggara. J.G.F. Riedel menulis (De Watu Rerumeran ne Empujig 1986 halaman, 3) di sebelah utara batu Pinawetengan pada dinding tebing gunung ada batu bentuk manusia setinggi 3 (tiga) meter. Yang satu di sebelah utara dan yang satu lagi di sebelah Selatan (Ni’utakan), berdekatan sebagai TOAR dan LUMIMUUT seperti memandang pada batu Pinawetengan.
Gambar manusia di permukaan batu adalah yang paling kemudian. Gambar-gambar jerat penangkap burung, perangkap babi hutan, jala penangkap ikan, kelelawar, ikan buaya (simbol mata pencaharian) dan simbol ikan pari (nyoa) yang menunjukkan musim menangkap ikan di laut. Tiap subethnis punya pantai sendiri untuk menangkap ikan, berburu binatang liar babi hutan dan sapi hutan yang dapat menimbulkan masalah perang antar subethnis. Misalnya apabila pemburu dari Tontemboan mengejar binatang buruan sampai masuk wilayah subethnis Tombulu, maka akan menjadi masalah yang kemudian diadakan perdamaian di batu PInawetengan. Berapa bahagian hasil tangkapan ikan oleh kaum PAKSIUWAN TELU yang harus mereka serahkan pada kaum penguasa MAKATELU PITU. Di wilayah manakah orang boleh menjaring kelelawar dan di wilayah yang tidak, semuanya ada ketentuan, karena ada penguasa yang mengatur. Yang jelas semua perselisihan yang sampai meresahkan seluruh masyarakat Minahasa, akan didamaikan melalui perundingan di Batu PInawetengan.
Kelompok masyarakat yang tidak mengakui atau memuji leluhur utama TOAR – LUMIMUUT dan KAREMA akan dimusuhi seluruh subethnis Minahasa. Ikrar ini dikuatkan dengan membuat gambar manusia simbol leluhur utama di Batu Pinawetengan yaitu perdamaian diahiri dengan korban manusia. Menurut legenda (J. Alb. T. Shcwarz 1905:4) ketika subethnis Minahasa kembali bersatu, seorang prajurit muda bernama PORONG TOKAI (Topi perang) anak dari panglima perang wanita TOMBARIAN dan Tumaratas dijadikan sebagai korban untuk perdamaian di batu pinawetengan. Setelah korban dibunuh, barulah diadakan acara makan bersama yang mungkin terjadi pada abas ke-7. Hanya kedua kaki setengah badan ke bawah yang diserahkan kembali pada ibunya. Setengah badan keatas dipotong-potong dan dibawa pulang oleh para peserta rapat umum ke masing-masing negeri asalnya, yang mungkin sebagai tanda bahwa yang melawan keputusan di batu pinawetengan akan mati dibunuh.
Gambar-gambar manusia dewa TOAR ketika masih bayi, dewi KAREMA bermahkota dan dewi LUMIMUUT di atas permukaan batu Pinawetengan, mungkin berasal dari abad ke-7 sebagai pengakuan semua subethnis Minahasa adalah keturunan TOAR dan LUMIMUUT. Gambar dewi kesuburan “Lingkan Wene” dan simbol dewi padi (bentuk padi yang mempunyai mata) berasal dari abad ke-9, karena dewi Lingkan wene yang pertama baru muncul abad ke-9.
Gambar ikan, kelelawar dan tuanya sudah tidak terlihat jelas lagi, bahkan mungkin sekarang ini telah hilang karena dirusak tangan-tangan jahil. Gambar ikan pari disebut “Nyoa” masih digunakan sampai abad 19 dengan nama “Pahik pokol” simbol musim menanam bulan Oktober (De Alfoersche Gerennem J. Ren Hove, 1887). Dewa TOAR dapat digambarkan sebagai tiang atau batang pohon (Tu’ur) dan dewi KAREMA sebagai dewi bintang dapat digambarkan sebagai meteor yang disebut “Bintang sosapu” Meteor seperti “Komet Heily” yang mempunyai ekor yang terang benderang dimalam hari, yang merupakan peristiwa jagat raya yang menimbulkan rasa takut pada masyarakat Minahasa dijaman lampau.
Sebelum tahun mesehi, gambar-gambar dibuat pada sisi bawah batu PInawetengan karena seluruh batu berada di atas permukaan tanah, abad ke-7 sampai dengan abad ke-9, gambar dibuat di bahagian atas batu karena setengah dari batu sudah tertutup tanah, dan tahun 1888 seluruh batu sudah tenggelam kedalam tanah.
Dan sekarangpun antara tahun 1968 sampai tahun 2006 sejak batu itu digali pada 9 Juni 1888, batu itu sudah terbenam 4 Cm kedalam tanah. Dan pada tahun 1968 almarhum Gubernur H.V.WORANG membuat bangunan beton dan lantai semen di bahagian bawah tempat berpijak. Tahun 2006 batas lantai semen tempat berpijak yang dibuat tahun 1968 oleh almarhum H.V.WORANG sudah turun 4 cm sebagai tanda bahwa lantai tanah tempat berpijak sudah turun 4 Cm yang berarti batu pinawetengan turun atau terbenam 4 Cm dari posisi tahun 1968.
Nilai sakral batu pinawetengan tidak akan hilang dari hati dan pikiran sebahagian besar orang Minahasa di Minahasa maupun diluar Minahasa, karena walaupun batu itu dipecahkan dan ditimbun seperti keadaannya sebelum tahun 1868, di lokasi inilah lahir persatuan antar Subethnis TOU MINAHASA (orang Minahasa) sebuah kata yang berarti “Mina” (menjadi), “Esa” (satu) yang terbentuk melalui proses waktu yang panjang selama berabad-abad, bahkan kemudian masih harus dikukuhkan lagi pada abad 14, karena sub-ethnis Minahasa yang sudah semakin banyak jumlahnya dengan tambahan subethnis Minoritas.
Arti gambar dan garis-garis di batu Pinawetengan bukan huruf, tapi gambaran mengenai Manusia pertama Minahasa dengan perubahannya, wilayah pemukiman dan bentuk perkampungan, kelas lapisan masyarakat, sistem pemerintahan yang tidak berpusat pada lokasi tertentu, mata pencaharian berburu sampai bercocok tanam, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar